Dalam suatu perbincangan dengan seorang tetangga saat ia berobat di
puskesmas, tetangga penulis menceritakan pengalamannya diberikan resep obat
generik. Karena mungkin kurangnya edukasi terhadap tetangga penulis, ia agak
sedikit menggerutu. “Obat generik yang dikasih ama dokter,ya pasti lama sembuh
sakitku. Ujung-ujungnya ya mesti balik kesana”. Kata tetangga penulis dengan
sedikit kecewa.
Obat generik bagi sebagian masyarakat seringkali dianaktirikan dan
dianggap sebelah mata oleh pasien. Banyak masyarakat yang tidak mengerti
tentang obat dan kualitasnya. Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan
langsung mengasumsikannya sebagai obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus.
Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Masyarakat lebih cenderung
mendewakan obat paten dibandingkan obat generik. Obat paten menjadi banyak
diinginkan,dan masyarakat yang sedang menderita sakit menjadi cepat sembuh.
Obat generik adalah obat yang telah habis masa patennya, sehingga dapat
diproduksi oleh semua perusahaan farmasi tanpa perlu membayar royalti. Ada dua
jenis obat generik, yaitu obat generik bermerek dagang dan obat generik berlogo
yang dipasarkan dengan merek kandungan zat aktifnya. Dalam obat generik
bermerek, kandungan zat aktif itu diberi nama (merek). Zat aktif amoxicillin
misalnya, oleh pabrik ”X” diberi merek ”inemicillin”, sedangkan pabrik ”Y”
memberi nama ”gatoticilin” dan seterusnya, sesuai keinginan pabrik obat. Dari
berbagai merek tersebut, bahannya sama yakni amoxicillin.
Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan
memiliki masa hak paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14
Tahun 2001 masa berlaku hak paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun
itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk
memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk
memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus
dengan pemilik hak paten. Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten
kemudian disebut sebagai obat generik (generik= nama zat berkhasiatnya). Obat
generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu generik berlogo dan generik bermerk
(branded generic).
Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat generik saja adalah
obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan
farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk
yang lebih umum disebut obat bermerk adalah obat yang diberi merk dagang oleh
perusahaan farmasi yang memproduksinya
Mutu obat generik tidak berbeda dengan obat paten karena bahan bakunya
sama. Ibarat sebuah baju, fungsi dasarnya untuk melindungi tubuh dari sengatan
matahari dan udara dingin. Hanya saja, modelnya bajunya beraneka ragam. Begitu
pula dengan obat. Generik kemasannya dibuat biasa, karena yang terpenting bisa
melindungi produk yang ada di dalamnya. Namun, yang bermerek dagang kemasannya
dibuat lebih menarik dengan berbagai warna. Kemasan itulah yang membuat obat
bermerek lebih mahal. Dari segi kandungan kimiawinya, obat paten sama dengan
obat generik. Perbedaannya ada pada yang satu masih paten, yang lain sudah
tidak perlu menyandang panten.
Solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri untuk lebih
mengenalkan obat generic ke masyarakat adalah yang pertama dengan menunjuk duta
obat generik yang dapat turun ke masyarakat (sebaiknya menggunakan icon artis
sehingga masyarakat lebih antusias). Cara yang kedua adalah menggencarkan iklan
obat generik di media elektronik khususnya televisi sebab jarang sekali saat
ini melihat iklan mengenai obat generik di televisi. Cara yang ketiga adalah
dengan bekerja sama dengan instansi-instansi kesehatan misalnya apotek, rumah
sakit puskesmas untuk mampu mengajak masyarakat yang belum mengenal lebih dalam
obat generik menggunakannya serta instansi-instani kesehatan tersebut mampu
menerangkan kepada masyarakat akan manfaat obat generik yang selama ini di cap
obat kelas dua. Nah, mulai sekarang jika sakit dan berobat jangan lupa
menggunakan obat generik yah. Salam Sehat.
sumber http://kesehatan.kompasiana.com