Suku Bugis Makassar dikenal Pemarah, suka mengamuk, membunuh dan mau mati untuk sesuatu perkara, meski hanya masalah sepele saja. Apa sebab sehingga demikian?
Ada apa dengan jiwa karakter suku bangsa ini?
Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar terpaksa membunuh atau melakukan pertumpahan darah,
biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti –sehingga dapat dimengerti dengan jelas- apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau ia mau mati untuk seseorang.
Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini lebih dekat lagi
dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair atau pantun-pantunnya.
Laksana garis cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih mendalam, tampaklah bahwa kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu dan dipermalukan. Soal malu dan dipermalukan banyak diwarnai oleh kejadian-kejadian yang dilatari adat yang sangat kuat. Sebut saja satu, silariang (kawin lari) misalnya, atau dalam bahasa Belanda : Schaking.
Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang). Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa mendapat "Malu Besar" (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang, segera digencarkan
pencarian untuk satu tujuan:
membunuh pemuda dan gadis itu! Cara ini sama sekali tidak dianggap
sebagai tindakan yang kejam,
bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas perbuatan mereka yang
memalukan. Oleh orang Bugis
Makassar menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu
tuntutan tata hidup dari
masyarakatnya yang disebut adat.
Selain itu, kedua suku Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang
berani sejak dahulukala
hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan
angin dan gelombang lautan,
maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak tidak mau
tenang itu, mempengaruhi
jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam
pepatah, syair atau pantun yang
berhubungan dengan keadaan laut, yang kemudian memantulkan bayangan
betapa watak atau sifat kedua
suku bangsa itu. Contoh salah satu pantun:
Takunjunga’ bangung turu’
Nakugunciri’ gulingku
Kualleangna talaanga natolia
Artinya: "saya tidak begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu
saja memutar kemudi saya.
Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali." Maksudnya, kalau langkah
sudah terayun, berpantang
surut –lebih suka tenggelam- daripada kembali dengan tangan hampa.
Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati yang begitu keras. Tapi,
benarkah begitu? Justru
sebaliknya, orang Bugis Makassar memiliki hati yang halus dan lembut.
Dari penjelasan di atas
nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan
perasaannya daripada pikirannya.
Ia lebih cepat merasa. Begitu halus perasaannya sampai-sampai hanya
persoalan kecil saja dalam
cara mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan
kesan yang lain pada
perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat
istiadatnya, maka kita tengah
berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan santun, bahkan kalau
perlu ia rela mengeluarkan
segala isi hatinya –bahkan jiwanya sekalipun- kepada kita.
Jika ada orang Makassar telah mengucapkan perkataan "Baji’na tau" atau
"Baji’tojengi tau I Baso"
(maksudnya: Alangkah baiknya orang itu atau alangkah baik hati si
Baso), maka itu cukup menjadi
suatu tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso,
maka ia rela turut
merasakannya. Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso.
Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso di
tengah jalan, jika
didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal menghadapi lawan
itu, meski tidak dimintai
bantuannya. Ia mau mati untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah
dipandangnya sebagai orang
baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia,
solider dan kuat pendirian.
Meski tak jarang yang memplesetkan kata Makassar sebagai "Manusia
Kasar".
Selain itu, kita juga bisa ketahui sifat Adat dari sebuah suku dengan melihat pepatah lama dari tanah bugis makassar.
Le'ba kusoronna biseangku, kucampa'na sombalakku, tamassaile punna teai labuang (Makassar)
Bila perahu telah kudorong,layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju.
Taro ada taro gau (Bugis)
Arti bahasa: Simpan kata simpan perbuatan.
Makna: Konsistensi perbuatan dengan apa yang telah dikatakan.
Ku alleangi tallanga na toalia (Makassar)
Arti bahasa: Lebih baik tenggelam dari pada kembali (latar belakang kata tersebut dari seorang pelaut yang telah berangkat melaut)
Makna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang mulia dengan taruhan nyawa.
Eja pi nikana doang (Makassar)
Seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya
Teai mangkasara' punna bokona loko' (Makassar)
Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang. Adalah simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun yang dihadapi.(inilah yang sering orang lain liat pada suku bugis makassar)
Aja mumae’lo nabe’tta taue’ makkalla ‘ ricappa’na lete’ngnge. (Bugis)
Arti bahasa: Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian
Makna:Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki .
Silahkan Tinggalkan Pesan
Ada apa dengan jiwa karakter suku bangsa ini?
Tidak diketahui apa sebab orang Bugis Makassar terpaksa membunuh atau melakukan pertumpahan darah,
biarpun hanya perkara kecil. Jika ditanyakan kepada mereka apa sebabnya terjadi hal demikian, jarang bahkan tak satupun yang dapat menjawab dengan pasti –sehingga dapat dimengerti dengan jelas- apa penyebab ia menumpahkan darah orang lain atau ia mau mati untuk seseorang.
Ahli sejarah dan budaya menyarankan untuk mengenal jiwa kedua suku bangsa ini lebih dekat lagi
dengan cara mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah, adat istiadat dan kesimpulan-kesimpulan kata mereka yang dilukiskan dengan indah dalam syair-syair atau pantun-pantunnya.
Laksana garis cahaya di gelap malam, apabila kita selidiki lebih mendalam, tampaklah bahwa kebanyakan terjadinya pembunuhan itu ialah lantaran soal malu dan dipermalukan. Soal malu dan dipermalukan banyak diwarnai oleh kejadian-kejadian yang dilatari adat yang sangat kuat. Sebut saja satu, silariang (kawin lari) misalnya, atau dalam bahasa Belanda : Schaking.
Apabila seorang pemuda ditolak pinangannya, maka ia merasa malu. Lalu ia berdaya upaya agar sang gadis pujaan hati Erangkale (si gadis datang membawa dirinya kepada pemuda), atau si pemuda itu berusaha agar gadis yang dipinangnya dapat dilarikannya (silariang). Apabila hal ini terjadi, maka dengan sendirinya pihak orang tua (keluarga) gadis itu juga merasa mendapat "Malu Besar" (Mate Siri’). Mengetahui anak gadisnya silariang, segera digencarkan
pencarian untuk satu tujuan:
membunuh pemuda dan gadis itu! Cara ini sama sekali tidak dianggap
sebagai tindakan yang kejam,
bahkan sebaliknya, ini tindakan terhormat atas perbuatan mereka yang
memalukan. Oleh orang Bugis
Makassar menganggap telah menunaikan dan menyempurnakan salah satu
tuntutan tata hidup dari
masyarakatnya yang disebut adat.
Selain itu, kedua suku Bugis Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang
berani sejak dahulukala
hingga sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan
angin dan gelombang lautan,
maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak tidak mau
tenang itu, mempengaruhi
jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini lalu tercermin dalam
pepatah, syair atau pantun yang
berhubungan dengan keadaan laut, yang kemudian memantulkan bayangan
betapa watak atau sifat kedua
suku bangsa itu. Contoh salah satu pantun:
Takunjunga’ bangung turu’
Nakugunciri’ gulingku
Kualleangna talaanga natolia
Artinya: "saya tidak begitu saja mengikuti arah angin, dan tidak begitu
saja memutar kemudi saya.
Saya lebih suka tenggelam dari pada kembali." Maksudnya, kalau langkah
sudah terayun, berpantang
surut –lebih suka tenggelam- daripada kembali dengan tangan hampa.
Jadi kedua suku bangsa ini memiliki hati yang begitu keras. Tapi,
benarkah begitu? Justru
sebaliknya, orang Bugis Makassar memiliki hati yang halus dan lembut.
Dari penjelasan di atas
nampaklah bahwa kedua suku bangsa ini lebih banyak mempergunakan
perasaannya daripada pikirannya.
Ia lebih cepat merasa. Begitu halus perasaannya sampai-sampai hanya
persoalan kecil saja dalam
cara mengeluarkan kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan
kesan yang lain pada
perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman.
Tapi, kalau kita telah mengenal jiwa dan wataknya atau adat
istiadatnya, maka kita tengah
berhadapan dengan suku bangsa yang peramah, sopan santun, bahkan kalau
perlu ia rela mengeluarkan
segala isi hatinya –bahkan jiwanya sekalipun- kepada kita.
Jika ada orang Makassar telah mengucapkan perkataan "Baji’na tau" atau
"Baji’tojengi tau I Baso"
(maksudnya: Alangkah baiknya orang itu atau alangkah baik hati si
Baso), maka itu cukup menjadi
suatu tanda, bahwa apabila ada kesukaran yang akan menimpa si Baso,
maka ia rela turut
merasakannya. Ia rela berkorban untuk kepentingan si Baso.
Apabila ada seseorang yang hendak mencelakai atau menghadang si Baso di
tengah jalan, jika
didengarnya kabar itu, maka ia rela maju lebih awal menghadapi lawan
itu, meski tidak dimintai
bantuannya. Ia mau mati untuk seseorang, dikarenakan orang itu telah
dipandangnya sebagai orang
baik. Olehnya, orang Bugis Makassar dikenal sebagai orang yang setia,
solider dan kuat pendirian.
Meski tak jarang yang memplesetkan kata Makassar sebagai "Manusia
Kasar".
Selain itu, kita juga bisa ketahui sifat Adat dari sebuah suku dengan melihat pepatah lama dari tanah bugis makassar.
Le'ba kusoronna biseangku, kucampa'na sombalakku, tamassaile punna teai labuang (Makassar)
Bila perahu telah kudorong,layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju.
Taro ada taro gau (Bugis)
Arti bahasa: Simpan kata simpan perbuatan.
Makna: Konsistensi perbuatan dengan apa yang telah dikatakan.
Ku alleangi tallanga na toalia (Makassar)
Arti bahasa: Lebih baik tenggelam dari pada kembali (latar belakang kata tersebut dari seorang pelaut yang telah berangkat melaut)
Makna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang mulia dengan taruhan nyawa.
Eja pi nikana doang (Makassar)
Seseorang baru dapat dikenali atas karya dan perbuatannya
Teai mangkasara' punna bokona loko' (Makassar)
Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang. Adalah simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun yang dihadapi.(inilah yang sering orang lain liat pada suku bugis makassar)
Aja mumae’lo nabe’tta taue’ makkalla ‘ ricappa’na lete’ngnge. (Bugis)
Arti bahasa: Janganlah engkau mahu didahului orang menginjakkan kaki dihujung titian
Makna:Janganlah engkau mahu didahului orang lain untuk mengambil rezeki .
Silahkan Tinggalkan Pesan
0 komentar:
Posting Komentar